Monday 26 December 2011

Nasihat Pribadi


Desember 26, 2011 disaat suhu kamar berada diangka 31 derajat, wuuiiihh.. satu persatu keringat bercucuran. Sebenarnya suasana diluar sedang hujan, tapi dari tadi suhu di dalam kamar tidak mau beranjak dari angka 31, mungkin ini biasa terjadi ketika hendak atau sedang turun hujan lebat, Insya Allah akan saya tanyakan fenomena ini kepada doctor di bidang fisika, doakan saja saya tidak ditawarkan untuk membuat algoritma hujan, haha..
Baiklah, daripada kita bicarakan hal yang sangat sensitive bagi mahasiswa tingkat akhir, mari kita santai sejenak untuk berbagi inspirasi untuk dunia yang makin sensasional. Hari ini masyarakat aceh ramai yang menggunakan pakaian serba putih dan berduyun-duyun berkumpul di lapangan golf lampu’uk kawasan Aceh Besar, karena tepat 7 tahun lalu Tsunami menyapa dunia dengan kelembutannya. Peringatan kali ini dipusatkan di kawasan tersebut walaupun di bebrapa tempat lainnya banyak juga warga yang melakukan zikir akbar, kanduri rakyat atau doa bersama di mesjid dan tempat yang memungkinkan lainnya. Saya sebagai warga yang taat dan patuh kepada orang tua, juga ikut-ikutan dalam memuja Allah bersama puluhan warga lainnya di salah satu mesjid di kawasan banda Aceh.
Namun ada beberapa hal yang ingin saya utarakan mengenai ceremonial yang kerap kita lakukan menyangkut suatu kebajikan. Kita sering kali terpaku dan terikat pada waktu, tempat dan situasi, seperti halnya peringatan Tsunami yang dihiasi dengan zikir, doa bersama dan kenduri (makan-makan), seolah-olah pada saat tersebutlah doa kita paling dikabulkan, seakan-akan hanya pada saat itulah zikir kita khusuk masyuk bertetesan air mata, dan seperti hanya pada saat itulah kenduri (makan-makan) harus diadakan, mungkin soal kenduri saya setuju, karena harga sembako dan barang lainnya pada saat ini begitu melonjak, jadi wajar kalau kenduri di buat setahun sekali.
Tapi dalam hal zikir dan doa kita membuat tanggal khusus untuk itu, yang di tanggal tersebutlah kita berlaku layaknya muslim sejati, dan menjadi pudar kapasitas muslim tersebut di lain hari. Apakah di hari lain kita tak boleh berzikir, apakah tetesan air mata tidak bisa berjatuhan di hari lain? Atau kekhusyukan tidak bisa datang di hari lain? Kita seakan mengkotak-kotakkan ibadah, dan menempelnya pada tanggal tertentu serta situasi khusus. Wajarlah kita berlaku bak muslim musiman, ketika musim duren bau nya keren, ketika musim duku perilakunya kaku, nah ketika musim langsat kita malah….. Astaghfirullah. Selayaknya sebagai muslim yang taat dimanapun dan kapanpun kita berusaha untuk mengalokasikan waktu khusus untuk berzikir dan berdoa (bukan setahun sekali), tidak harus pada saat peringatan tsunami baru kita melakukan refleksi, pada saat lebaran kita maaf-maafan, pada saat hijrah baru baca sirah, atau pada hari ibu kita baru teringat akan orang tua, sehingga status fesbuk, twitter pun ikut ikutan meriah. Pun janganlah kita terlalu phobia akan ritual ini sehingga terlalu ekstrim menentang kegiatan kebajikan ini. Insya Allah kegiatan tersebut bermanfaat dan bernilai ibadah asalkan sesuai syariat Allah dan tuntunan Rasulullah. Saya termasuk orang yang juga ikut berzikir, berdoa dalam peringatan kali ini, dan Alhamdulillah Allah menambah nikmatnya, karena setelah zikir rupanya ada kanduri besar-besaran di mesjid tersebut, tancap bro.. Alhamdulillah.

Thursday 1 December 2011

Jangan halangi Aku membela Rasulullah

dakwatuna.com – Hari itu Nasibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nasibah menebak, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung Uhud.
Dengan bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang tengah dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang tengah tertidur dengan halus dan lembut dibangunkannya. “Suamiku tersayang,” Nasibah berkata, “aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir telah menyerang.”
Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian Said saja.
Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup.
“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”
Nasibah tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar, kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.”
Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela agama Allah.”
Putra Nasibah yang berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”