Monday 23 August 2010

Kisah Nuansa Ramadhan

Kesibukan sehari-hari membuat waktu bagiku serasa cepat. Satu pekerjaan belum selesai waktu Dhuhur telah masuk. Serasa baru sebentar, jadwal shalat Ashar jamaah telah menanti. Baca buku dan jurnal belum lagi tuntas, Maghrib telah memanggil. Baru selesai berbuka puasa dan istirahat sejenak, Isya-pun telah datang. Bacaan surat dalam shalat Isya dan Tarawih yang panjangpun, serasa cepat. Bacaan syahdu ayat-ayat Qu'ran, melembutkan hati dari keinginan duniawi. Kala itu, hati bergetar, takut akan adzab Allah, "Sudahkan kupersiapkan diriku?", begitu tanyaku dalam hati.

Baru saja Tarawih, jarum jam begitu cepat menunjuk angka 12. Ingin rasanya segera merebahkan tubuh ini dalam empuknya tempat tidur, melepas penat yang ada. Belum lagi bermimpi, jam weaker telah membangunkan untuk sahur. Tak lama, Subuhpun menanti. Enggan rasanya untuk melangkah ke mushola. Ngantuk, musti jalan 10 menit, dingin, dan naik tangga 3 lantai... menjadi penghalang yang dasyat, tapi remind dari si teman Mesir:"In akhirah, the way to Jannah is narrow dan dark. Many people fall when try out to reach the jannah. Only few people, few people, can pass. And al Fajr wal Isya', become the ligth at that time, since you had to pass the darkness of night to do shalatul al Fajr and Isya jamaah in mosque."Meyadarkanku untuk melangkah ke mushola dengan penuh harap. Ternyata harapan (roja') menjadi senjata yang ampuh untuk melawan godaan. Subuhpun menjadi khusuk terasa, dzikir pagi menambah tenang hati ini. Tilawah Qur'an belum lagi tuntas 1 juz, jarum jam telah melaju cepat ke angka 6, menggodaku untuk terlelap sejenak sebelum aktivitas hari ini kembali berlangsung.

Demikian, terus bergulir kehidupanku... Namun, disuatu saat, ada kala terasa sendiri; ada orang disekitarku, namun kesendirian itu muncul, benar-benar merasa sendiri, terasing, di negeri ginseng yang asing. Mungkin beginilah, pikirku, kala harus mempertanggungjawabkan kelak dihadapan Allah. Sendiri, semuanya sendiri, tiada yang bisa membantu, hanya amalku yang pasti. Semoga Allah menjagaku untuk senantiasa beramal sholeh."Life in this stage is very quickly. It is pre-stage for akhirah, the long life. Life in this dunya is one day or half if compare to the life in akhirah. So prepare by doing good deed, shalatu jamaah in mosque, fasting, and other good things", demikian kira-kira imam mushola mengingatkan.

Semoga Allah menuntunku untuk istiqomah di jalan-Nya, dan melimpahkan bagiku dan keluargaku, kebaikan dunia maupun akhirat. Laa haula walaa quata illa billah.

Musim berlalu bagai sungai mengalir Menuju ke arah muara Bagaikan usia kita

Masih ada sisa-sisa dosa yang tertinggal Untuk kita singkirkan di hati Yang amat mengharap keredhaan

Semalam telah pun tersisih Suka duka jadikan iktibar Kerana hari esok yang mendatang Tak menjanjikan kepastian

Apakah di kesempatan yang ada Kan dapat kita pohon dari-Nya Sebelum berangkat ke daerah kematian

Amat rapuhnya usia bak dedaun Nan tergantung pada tangkainya Bila tiba detik dan waktunya

Berguguran...oh...berguguran Dedaunnya....oh....di akhirnya(Senandung Islam, Anugerah)



dikutip dari : Seri Kisah Nuansa Ramadhan 1429H di Korea

Pemimpin..

Tiga anak remaja tampak bersemangat berjalan beriringan dengan ayah mereka di sebuah jalan desa yang dikelilingi tumbuhan nan hijau. Sesekali, mereka tampak berhenti sebentar untuk istirahat, kemudian berjalan lagi.

Di sebuah pertigaan jalan, tiba-tiba mereka berhenti. Salah seorang dari mereka berujar, "Yah, kita ke arah mana?"

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Sang ayah seperti memberi ruang kepada anak-anaknya untuk berekspresi. "Menurut kamu, kira-kira kemana?" ujar sang ayah kemudian.

Gaya sang ayah yang mereka cintai ini memang bukan hal baru buat mereka. Selalu saja, sang ayah akan melempar balik sebuah pertanyaan yang sangat berkait dengan kematangan analisa dan pengalaman.

"Kayaknya ke kiri deh, Yah!" ucap si bungsu tiba-tiba. Ia juga menjelaskan kalau jalan ke kiri itu jalan menuju puncak bukit yang mereka tuju. Tapi, si bungsu masih belum yakin.

"Kalau menurutku, ke kanan!" ucap si sulung kemudian. "Coba lihat beberapa petani yang memikul hasil panen mereka. Mereka datang dari arah kanan kita kan! Itu artinya, mereka tidak mungkin membawa hasil panen mereka ke bukit, tapi ke arah pasar yang letaknya pasti di bawah," jelas si sulung begitu argumentatif.

"Menurutmu gimana, Nak?" tanya sang ayah ke anak yang tengah. Ia tampak berpikir sebentar, dan kemudian mengangguk-angguk. "Aku setuju dengan yang arah kanan!" ucapnya kemudian. Mereka pun berjalan menuju arah kanan.

Tiba-tiba, si bungsu berucap dalam sela-sela perjalanan mereka yang tampak begitu mengasyikkan. "Yah, kenapa sih tidak ayah kasih tahu aja. Kan ini bukan yang pertama kali ayah menuju bukit itu?"

Tiba-tiba langkah sang ayah berhenti, yang kemudian diikuti oleh ketiga anaknya. Ia menarik nafas dalam untuk selanjutnya menatap ketiga anaknya dengan senyum. "Anakku," ucap sang ayah. "Ayah menginginkan kalian kelak menjadi pemimpin yang baik, bukan sekedar pengikut yang baik," ucap singkat ayah yang kemudian diiringi dengan langkahnya.

**Dalam dinamika organisasi yang sehat, dalam bentuk apa pun sebuah organisasi, seorang pemimpin yang baik bukan berarti orang yang piawai menelorkan pengikut-pengikut yang setia (taqlid).

Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mampu menyiapkan pemimpin-pemimpin baru yang akan menggantikannya esok. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Kisah Sa’id bin Harits Berbuka Puasa Bersama Bidadari

dakwatuna.com - Hisyam bin Yahya al-Kinaniy berkata, “Kami berperang melawan bangsa Romawi pada tahun 38 H yang dipimpin oleh Maslamah bin Abdul Malik. Dalam pertempuran itu ada di antara kami seorang lelaki yang bernama Sa’id bin Harits yang terkenal banyak beribadah, berpuasa di siang hari, dan shalat di malam hari.Saya melihat orang itu adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, baik siang maupun malam hari. Jika dia tidak sedang melakukan shalat atau ketika kami berjalan-jalan bersama, saya lihat dia tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an.Pada suatu malam ketika kami melakukan pergantian jaga (saat mengepung benteng Romawi), sungguh saat itu kami dibuat bingung olehnya. Saat itu saya katakan kepadanya, ‘Tidurlah sebentar karena kamu tidak tahu apa yang akan terjadi pada musuh. Jika terjadi sesuatu agar nantinya kamu dalam keadaan siaga.’Lalu dia tidur di sebelah tenda sedangkan saya berdiri di tempatku berjaga. Di saat itu saya mendengar Said berbicara dan tertawa, lalu mengulurkan tangan kanannya seolah-olah mengambil sesuatu kemudian mengembalikan tangannya sambil tertawa. Kemudian ia berkata, ‘Semalam.’ Setelah berkata seperti itu tiba-tiba ia melompat dari tidurnya dan terbangun dan bergegaslah dia bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.Lalu saya bertanya kepadanya, ‘Bagus sekali, wahai Abul Walid (panggilan Sa’id), sungguh saya telah melihat keanehan pada malam ini. Ceritakanlah apa yang kau lihat dalam tidurmu.’Dia berkata, ‘Aku melihat ada dua orang yang belum pernah aku lihat kesempurnaan sebelumnya pada selain diri mereka berdua. Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Sa’id, berbahagialah, sesungguhnya Allah swt. telah mengampuni dosa-dosamu, memberkati usahamu, menerima amalmu, dan mengabulkan doamu. Pergilah bersama kami agar kami menunjukkan kepadamu kenikmatan-kenikmatan apa yang telah dijanjikan oleh Allah kepadamu.’Tak henti-hentinya Sa’id menceritakan apa-apa yang dilihatnya, mulai dari istana-istana, para bidadari, hingga tempat tidur yang di atasnya ada seorang bidadari yang tubuhnya bagaikan mutiara yang tersimpan di dalamnya. Bidadari itu berkata kepadanya, “Sudah lama kami menunggu kehadiranmu.” Lalu aku berkata kepadanya, “Di mana aku?” Dia menjawab, “Di surga Ma’wa.” Aku bertanya lagi, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah istrimu untuk selamanya.”Sa’id melanjutkan ceritanya. “Kemudian aku ulurkan tanganku untuk menyentuhnya. Akan tetapi dia menolak dengan lembut sambil berkata, ‘Untuk saat ini jangan dulu, karena engkau akan kembali ke dunia.’ Aku berkata kepadanya, “Aku tidak mau kembali.” Lalu dia berkata, “Hal itu adalah keharusan, kamu akan tinggal di sana selama tiga hari, lalu kamu akan berbuka puasa bersama kami pada malam ketiga, insya Allah.”Lalu aku berkata, “Semalam, semalam.” Dia menjawab, “Hal itu adalah sebuah kepastian.” Kemudian aku bangkit dari hadapannya, dan aku melompat karena dia berdiri, dan saya terbangun.Hisyam berkata, “Bersyukurlah kepada Allah, wahai saudaraku, karena Dia telah memperlihatkan pahala dari amalmu.” Lalu dia berkata, “Apakah ada orang lain yang bermimpi seperti mimpiku itu?” Saya menjawab, “Tidak ada.” Dia berakta, “Dengan nama Allah, aku meminta kepadamu untuk merahasiakan hal ini selama aku masih hidup.” Saya katakan kepadanya, “Baiklah.”Lalu Sa’id keluar di siang hari untuk berperang sambil berpuasa, dan di malam hari ia melakukan shalat malam sambil menangis. Sampai tiba saatnya, dan sampailah malam ketiga. Dia masih saja berperang melawan musuh, dia membabat musuh-musuhnya tanpa sekalipun terluka. Sedangkan saya mengawasinya dari kejauhan karena saya tidak mampu mendekatinya. Sampai pada saat matahari menjelang terbenam, seorang lelaki melemparkan panahnya dari atas benteng dan tepat mengenai tenggorokannya. Kemudian dia jatuh tersungkur, lalu dengan segera aku mendekati dia dan berkata kepadanya, “Selamat atas buka malammu, seandainya aku bisa bersamamu, seandainya….”Lalu ia menggigit bibir bawahnya sambil memberi isyarat kepadaku dengan tersenyum. Seolah-olah dia berharap ‘Rahasiakanlah ceritaku itu hingga aku meninggal’. Kemudian dari bibirnya keluar kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya kepada kami.” Maka demi Allah, dia tidak berucap kata-kata selain itu sampai dia meninggal.Kemudian saya berteriak dengan suaraku yang paling keras, “Wahai hamba-hamba Allah, hendaklah kalian semua melakukan amalan untuk hal seperti ini,” dan aku ceritakan tentang kejadian tersebut. Dan orang-orang membicarakan tentang kisah itu dan mereka satu sama lain saling memberikan teguran dan nasihat. Lalu pada pagi harinya mereka bergegas menuju benteng dengan niat yang tulus dan dengan hati yang penuh kerinduan kepada Allah swt. Dan sebelum berlalunya waktu Dhuha benteng sudah bisa dikuasai berkat seorang lelaki shaleh itu, yaitu Sa’id bin Harits. Allahu a’lam

Apel Haram

Cerita ini dari Mesir. Pencerita bilang dia lagi shalat tahiyatul masjid, khusu’nya keganggu oleh bau asep rokok yang kuat banget, setelah salam dia tahu dimana asal bau itu, dari orang yang bibirnya saja item karena rokok. Dia ngomong ke dirinya, “nanti selesai solat gue mao ngomong ama tuh orang.” Tapi ngedadak ada anak kecil sembilan taunan umurnya masuk mesjid, duduk disamping perokok itu. Dan si anak itu mencium bau asap rokok juga, kemudian mereka terdengar ngobrol.
Anak: Assalamu’alaikum paman, paman orang mesir?
Perokok: ya betul aku orang mesir.
Anak : Paman kenal Syeikh Abdul Hamid Kisyk?
Perokok: ya kenal.
Anak : Paman juga kenal Syeikh Jaad al-Haq?
Perokok: ya kenal juga.
Anak : Paman juga kenal Syeikh Muhammad al-Ghazali?
Perokok: ya aku juga kenal.
Anak : Paman pernah dong mendengar pendapat dan fatwa-fatwa mereka?
Perokok: ya dengar juga.
Anak : Mereka itu ulama dan syeikh yang berkata bahwa rokok itu haram, kenapa paman menghisapnya??
Perokok: Ngga, rokok ngga haram.
Anak : Haram paman, bukankah Allah mengharamkannya: وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الخَبَائِثِ (Allah mengharamkan yang buruk-buruk bagi kalian) apakah paman waktu ngerokok baca bismillah dan baca alhamdulillah waktu selesainya??
Perokok: Ngga, rokok ngga haram, mana ada ayat al-Quran yang berbunyi وَيُحَرِّمُ عَلَيْكُمُ الدُخَانَ (Allah mengharamkan rokok bagimu).
Anak : Paman, rokok itu haram seperti haramnya apel!!!
Perokok: (sambil marah) Apel haram!!! Bagaimana kamu bisa menghalalkan dan mengharamkan itu.
Anak : Coba paman tunjukkan ayat وَيُحِلُّ لَكُمُ التُّفَاحَ (Allah menghalalkan apel)!
Perokok itu sadar diri dan diam, ngga keluar lagi kata-katanya, seterusnya dia nangis dan waktu solat juga dia nangis. Sehabis solat perokok itu deketin si anak kecil, sang da’i yang nyadarin dirinya, terus janji, “nak, paman berjanji kepada Allah tidak akan ngerokok lagi sampai akhir hidup paman.”

sumber : dakwatuna

Takahashi, 5 Menit Menuju ke Surga

Kuringgu… kuringgu …. kuringgu!!! (kring …kring …kring..). Suara telepon rumah Muhammad berbunyi nyaring.

Muhammad: Mosi mosi? (Hallo?)

Takahashi: Mosi mosi, Muhammad san imasuka ? (Apakah ada Muhammad?)

Muhammad: Haik, watashi ha Muhammad des. (Iya saya).

Takahashi: Watashi ha isuramu kyo wo benkyou sitai desuga, osiete moraemasenka? (Saya ingin belajar agama Islam, dapatkah Anda mengajarkan kepada saya?)

Muhammad: Hai, mochiron. (ya, sudah tentu.)

Percakapan pendek ini kemudian berlanjut menjadi pertemuan rutin yang dijadwalkan oleh dua manusia ini untuk belajar dan mengajar agama Islam.

Setelah beberapa bulan bersyahadat, Takahashi kian akrab dengan keluarga Muhammad. Dia mulai menghindari makanan haram menurut hukum Islam.

Memilih dengan hati-hati dan baik, mana yang boleh di makan dan mana yang tidak boleh dimakan merupakan kelebihannya. Terkadang tidak sedikit, keluarga Muhammad pun mendapatkan informasi makanan-makanan yang halal dan haram dari Takahashi.

“Pizza wo tabenaide kudasai. cheese ni ra-do wo mazeterukara.. (Jangan makan pizza walau pun itu adalah cheese, karena di dalamnya ada lard, lemak babi)”, nasihatnya di suatu hari. Takahashi mengetahui informasi semacam ini karena memang kebiasaan tidak membeli pizza, atau makanan produk warung di Jepang memang sudah terpelihara sebelumnya di keluarga Muhammad.

Toko kecil makanan halal milik keluarga Muhammad, menjadi tumpuan Takahashi dalam mendapatkan daging halal. Suatu ketika Takahashi ingin makan daging ayam kesukaannya, tapi dia ngeri kalau melihat daging ayam bulat (whole) mentah yang ada di plastik, dan tidak berani untuk memotongnya. Dengan senang hati, Muhammad memotong ayam itu untuk Takahashi. Dia potong bagian pahanya, sayapnya, dan badannya menjadi beberapa bagian.

Setiap pekan, Takahashi terkadang memesan sosis halal untuk lauk, bekal makan siang di kantor. Setiap pagi ibunya selalu menyediakan menu khusus (baca: halal) untuk pergi ke kantor tempat dia bekerja. Sebagai ukuran muallaf Jepang yang dibesarkan di negeri Sakura, luar biasa kehati-hatian Takahashi dalam memilih makanan yang halal dan baik. Terkadang Muhammad harus belajar dari Takahashi tentang keimanan yang dia terapkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Pernah dalam suatu percakapan tentang suasana kerja, Takahashi menggambarkan bagaimana terkadang sulitnya menjauhi budaya minuman sake di lingkungan tempat kerjanya. Di Jepang, suasana keakraban hubungan antara atasan dan bawahan atau teman bekerja memang ditunjukkan dengan saling memberikan minuman sake ke gelas masing-masing.

Dalam kondisi hidup ber-Islam yang sulit, Takahashi ternyata terus melakukan dakwah kepada ibunya. Beberapa bulan kemudian akhirnya ibunya pun menjadi muallaf dengan nama Qonita, nama pilihan Takahashi sendiri buat ibu yang dia cintainya. Sampai saat ini, bagaimana dia mendapatkan nama itu, tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Takahashi.

Beberapa bulan berlalu, pertemuan kecil-kecilan berlangsung …terlontar dari mulutnya suatu kalimat.

“Watashi ha kekkon simasu (Saya mau menikah)….”, ujarnya.

Dengan proses yang panjang, akhirnya dia mendapatkan jodohnya, wanita Jepang yang cantik, yang dia Islamkan sebelumnya. Setahun kemudian, suatu hari Takahashi datang ke rumah Muhammad dengan istrinya yang berkerudung, ikut serta juga buah hati mereka yang telah hadir di dunia ini.

Pada suatu hari, iseng-iseng Muhammad bertanya kepada Takahashi, “Apa yang menyebabkan Takahashi lebih tertarik dengan Islam?”

“Sebenarnya saya belajar juga Kristen, Budha dan Todoku (Agama moral) selain Islam,” Takahashi menjelaskan.

“Masih ingat dengan telepon kita dulu? Waktu pertama kali aku telepon ke Muhammad beberapa bulan dulu”, sambungnya.

“Iya ingat sekali”, jawab Muhammad.

“Kita waktu itu membuat perjanjian untuk bertemu di suatu tempat bukan?”, tanya Takahashi.

“Iya benar sekali”, sambung Muhammad lagi sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.

“Saya sungguh ingin mantap dengan Islam, karena Muhammad datang 5 menit lebih dulu dari pada waktu yang kita janjikan, dan Muhammad datang terlebih dahulu dari pada aku. Muhammad pun menungguku waktu itu”, jawab Takahashi beruntun.

“Karena itu aku yakin, aku akan bersama dengan orang-orang yang akan memberikan kebaikan”, sambungnya lagi.

Jawaban Takahashi membuat Muhammad tertegun, Astaghfirullah sudah berapa kali menit-menitku terbuang percuma, gumam Muhammad.

Begitu besar makna waktu 5 menit saat itu untuk sebuah hidayah dari Allah SWT. Subhanallah, 5 menit selalu kita lalui dengan hal yang sama, akan tetapi 5 menit waktu itu sungguh sangat berharga sekali bagi Takahashi.

Bagaimana dengan 5 menit yang terlewat barusan, milik Anda? []

Soure : Tulisan Muhammad Yusuf Effendi di Dakwatuna